Di tengah padatnya lalu lintas Surabaya, kehadiran perempuan pengemudi ojek online (ojol) menjadi simbol pergeseran norma sosial. Mereka bukan sekadar pengantar, melainkan wajah baru mobilitas urban yang menantang pandangan lama. Namun, perjuangan mereka diwarnai oleh stereotip ganda, baik yang merendahkan maupun yang memuji.
Di satu sisi, perempuan ojol kerap menghadapi prasangka negatif. Mereka dianggap lambat atau tidak cekatan dengan lelucon seperti “sen kiri, belok kanan,” yang sejatinya mencerminkan bias gender dan pandangan patriarki bahwa jalanan adalah domain laki-laki. Padahal, banyak dari mereka justru lebih berhati-hati karena sadar akan risiko yang ada.
Di sisi lain, ada pula stereotip positif yang justru menyempitkan identitas mereka. Penumpang, khususnya perempuan dan anak-anak, sering merasa lebih aman dan nyaman saat diantar oleh pengemudi perempuan. Mereka dianggap lebih sabar, rapi, atau “berasa seperti diantar kakak sendiri.” Anggapan positif ini bisa menjadi awal untuk mengakui profesionalisme dan ketangguhan perempuan pengemudi ojek online sebagai pekerja keras.
Untuk menjawab tantangan ini, DP3APPKB Kota Surabaya melalui bidang PUGPHA (Pengarusutamaan Gender dan Perlindungan Hak Anak) menyelenggarakan Kelas Pemberdayaan Perempuan Bidang Sosial: Advokasi Support System untuk Mental Health bagi Ojol Perempuan yang diadakan pada 16 September 2025 yang dihadiri oleh POPSA (Persatuan Ojol Perempuan Surabaya). Acara ini bertujuan memperkuat mental dan mengangkat martabat perempuan ojol, menunjukkan bahwa mereka adalah bagian penting dari ekosistem sosial kota. Pemberdayaan ini menjadi kunci untuk melawan stereotip dan menyoroti kisah mereka secara utuh, bukan sekadar dalam bingkai prasangka yang membatasi.